Autobiografi

Senin, 28 Oktober 2013

| 0 komentar
Selasa, 9 Agustus 1994, saya terlahir sebagai anak perempuan yang diberi nama Prita Purnamasari. Awalnya perkiraan dokter, saya lahir tanggal 17 dan ternyata meleset jauh menjadi tanggal 9. Yang lucunya, nama prita ada kepanjangannya. Yaitu, Proklamasi Republik Indonesia Tujuhbelas Agustus. Tapi entahlah,itu benar atau hanya lelucon orangtua saya saja.Tapi kalau dipikir pikir singkatannya nyambung juga sih haha

Anak bungsu dari 3 bersaudara. kakak saya yang pertama laki laki dan sudah menikah,begitupun kakak saya yang kedua(perempuan) sudah menikah juga. Saya orangnya pemalu,lugu,periang, mudah naik turun emosinya(labil). Biasanya kalau sedang tidak baik moodnya, saya lebih senang menyendiri untuk menghindar teman terkena dampak dari emosi saya. Menggambar adalah hobi saya, hal yang berhubungan dengan seni saya sangat tertarik. 

Saya dibesarkan di kota Depok, Disebuah rumah tepat didekat perempatan.Di pekarangan depan rumah, ada sebuah pohon rambutan yang lebat sekali buahnya. Biasanya ayah selalu membagi sebagaian rambutannya ke tetangga sekitar rumah. Seiring bertambahnya tahun rumah saya banyak mengalami perubahan. Pohon rambutan yang biasanya saya gunakan untuk bermain ayunan sewaktu kecil, sekarang telah ditebang dan menjadi lahan untuk garasi.

Jejak saya didunia pendidikan dimulai dari umur 5 tahun. Bermula dari TK yang lokasinya dekat dengan komplek rumah. Sewaktu TK saya termasuk anak yang tomboy dan sangat takut dengan ayunan. Setelah TK saya meneruskan kejenjang selanjutnya yaitu SD. Saya bersekolah di PBI Soedirman. Di SD ini, para muridnya dibagi menjadi dua kasta, yaitu golongan plus dan golongan reguler. Golongan plus adalah kelas yang diperuntukkan untuk murid yang dianggap mempunyai kemampuan otak “diatas rata-rata”, sedangkan kelas reguler tentu saja diperuntukkan untuk murid berkemampuan “rata-rata” alias biasa saja. Pembagian kasta ini ada saat memasuki bangku kelas 5 SD. Awalnya saya ingin mencoba mengikuti tes untuk masuk ke kelas golongan plus. Tapi karena tidak terlalu percaya diri dan tidak yakin akan potensi yang dipunya,saya megurungkan niat untuk mengikuti tes tersebut.Pada bulan Juni tahun 2006, saya dinyatakan lulus SD walaupun dengan nilai pas-pasan

Saya mencoba mendaftar ke SMP negeri diwilayah jakarta timur. Awalnya saya sangat berharap diterima di SMP 103, tapi apa daya nama saya keluar dari urutan menurut NEM diSMP itu. Akhirnya setelah menjelang hari terakhir saya diterima di SMP 012. Awalnya agak kurang senang karena tidak mendapat sekolah yang saya inginkan. Setelah saya mencoba menikmati sekolah yang saya dapat, saya sangat bersyukur kenal dengan teman2 yang sangat baik. Terlebih lagi bentuk sekolah yang tak tingkat, membuat saya mengenal semua teman yang seangkatan. Setelah itu, saya melanjautkan kejenjang SMA dan melakukan survei untuk mencari SMA negeri yang bagus dan sesuai dengan nilai ijazah SMP. Saat tahun saya, peminat SMA disekitar wilayah jakarta timur didominasi oleh Nilai NEM yang tinggi2. Sehingga saya terlempar jauh dari wilayah jakarta timur ke wilayah jarakta selatan. Saya bersekolah diSMA 45 sangat jauh dari tempat saya tinggal. DiSMA ini saya hanya bersekolah selama satu semester dikelas X. Kemudian saya melanjutkan semester selanjutnya diSMA58 sampai saya lulus. 

Lulus dari SMA saya meneruskan kebangku kuliah. Persaingan memperebutkan bangku kuliah terasa kian sengit dibanding saat SD dan SMP. Saingan saingan dari sekolah lain,yang kemampuannya bermacam macam. Membuat saya bersemangat untuk mempersiapkan tes Universitas Negri  favorit yang sangat idamkan. Tak sedikit uang dan waktu yang saya korbankan untuk mendapatkan Universitas tersebut. Tapi tuhan berkehendak lain, Universitas swasta menjadi pilihan terakhir saya. Dan saya memutuskan untuk memilih Universitas Gunadarma jurusan sistem informasi. Saya memilih kampus ini karena saya tau jurusan yang berhubungan dengan IT sangat bagus diGunadarma.








Fenomena Penyakit Sosial di Kalangan Remaja Jepang (Hikikomori)

Jumat, 11 Oktober 2013

| 0 komentar

Hikikomori berasal dari kata menarik diri. Kebanyakan hikikomori adalah laki-laki, walau ada juga yang perempuan. Faktor penyebabnya tidak begitu jelas. Namun kebanyakan publik menyalahkan faktor keluarga, dimana hilangnya figur seorang ayah karena bekerja larut malam hingga tak sempat melakukan interaksi dengan anaknynya, serta ibu yang dianggap terlalu memanjakan anaknya.

Tekanan akademik disekolah, pelecehan disekolah (scholl bullying), dan video game di jepang yang luar biasa menggoda. Tekanan akademik di sekolah, pelecehan di sekolah (school bullying), dan video game di Jepang yang luar biasa menggoda. Mungkin bisa di bilang mereka menarik diri dari tekanan kompetisi pelajar, pelaku ekonomi atau pekerja di negara yang luar biasa kompetisi-nya. Jumlah pastinya tidak diketahui pasti, ada yang menghitung sekitar 1 persen dari populasi. Ini berarti sekitar 1 juta orang Jepang hikikomori. Hitungan yang lebih konservatif berkisar antara 100 ribu dan 320 ribu orang yang hikikomori. Mereka biasanya berusia 13-14 tahun, walau kadang ada orang yang menjadi hikikomori bahkan lebih dari 10tahun



bullying.jpg (480×449)
Mungkin orang akan menganggap hikikomori itu sama dengan otaku. Namun sebenarnya berbeda. otaku adalah orang yang memiliki minat atau hobi yang berlebihan sehingga mereka mengabaikan kegiatan yang lain, tapi mereka masih berinteraksi dengan keluarga atau tenyan di dunia nyata. Seperti penggemar komik yang berlebihan, atau orang yang suka dengan model kit secara berlebihan. Namun semua hikikomori itu otaku, karena pelarian dari beban mereka adalah dengan memfokuskan diri pada hal yang mereka sukai agar mereka tidak teringat akan sakitnya pergaulan sosial itu.

Yang mereka lakukan? tentu saja hanya diam dikamar dan bergulat dengan dunia maya, menonton anime, baca manga, bahkan terkadang aktivitas makan dan buang air kecil dilakukan dikamar. Walau tidak punya kamar mandi mereka akan menampunya di plastik atau botol.

Semakin tua seseorang hikikomori, semakin kecil kemungkinan dia bisa berkompeten di dunia luarnya. Bila setahun lebih hikikomori, ada kemungkinan dia tidak bisa kembali normal lagi untuk bekerja atau membangun relasi sosial dalam waktu lama, menikah misalnya. Beberapa tidak akan pernah meninggalkan rumah orang tuanya. Pada banyak kasus, saat orang tuanya meninggal atau pensiun akan menimbulkan masalah karena mereka tanpa kemampuan kerja dan sosial minimal – bahkan untuk membicarakan masalahnya dengan orang lain atau kantor pemerintah.

n508a9a1f5cbd8.jpg (597×800)

 sumber : http://www.apasih.com/2012/07/hikikomori-fenomena-penyakit-sosial-di.html